Selasa, 28 Juli 2015

penentuan boraks pada tahu secara titrimetri menggunakan indikator alami

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sejak pertengahan abad ke-20 ini, peranan bahan tambahan pangan (BTP) khususnya bahan pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintetis. Banyaknya bahan tambahan pangan dalam bentuk lebih murni dan tersedia secara komersil dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian bahan tambahan pangan yang berarti meningkatnya konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu. Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan pengolahan, penyimpanan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan. Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan ini sendiri yaitu dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan (Cahyadi, 2008).
Bahan tambahan makanan yang digunakan untuk menjaga kualitas makanan tersebut salah satunya adalah zat pengawet. Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan makanan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi, tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Cahyadi, 2008). Menurut Hermana (1991), pengawetan dengan zat kimia merupakan teknik yang relatif sederhana dan murah. Cara ini terutama bermanfaat bagi wilayah yang tidak mudah menyediakan sarana penyimpanan pada suhu rendah. Konsentrasi bahan pengawet yang diizinkan oleh peraturan sifatnya adalah penghambatan dan bukannya mematikan organisme-organisme pencemar, oleh karena itu populasi mikroba dari bahan pangan yang akan diawetkan harus dipertahankan seminimum mungkin dengan cara penanganan dan pengolahan secara higienis. Bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan, justru ditambahkan ke dalam makanan misalnya boraks akan sangat membahayakan konsumen (Yuliarti, 2009).
Tingkat pengetahuan yang rendah mengenai bahan pengawet merupakan faktor utama penyebab penggunaan boraks pada produk makanan. Beberapa survei menunjukkan, alasan produsen menggunakan boraks sebagai bahan pengawet karena daya awet dan mutu yang dihasilkan menjadi lebih bagus, serta murah harganya, tanpa peduli bahaya yang dapat ditimbulkan. Hal  tersebut  juga  ditunjang  oleh perilaku  konsumen  yang  cenderung  untuk  membeli  makanan  yang  harga  murah  tanpa mengutamakan   kualitas  sehingga  penggunaan  bahan  tambahan  pangan  dianggap sebagai hal biasa. Sulitnya membedakan produk yang dibuat dengan penambahan boraks juga menjadi salah satu faktor pendorong perilaku konsumen tersebut (Cahyadi, 2008).
Perlu dilakukan upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan bagi produsen dan konsumen tentang bahaya pemakaian bahan kimia yang bukan termasuk dalam katagori bahan  tambahan  pangan.  Sikap  pemerintah  yang  lebih  tegas  juga  diperlukan  untuk melarang penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya pada produk pangan karena dapat menimbulkan keracunan dan kematian (Cahyadi, 2008).
Berdasarkan masalah yang terjadi di atas, maka dilakukan percobaan pembuatan indikator bahan alami untuk uji borak. Prinsip indikator alami ini adalah bahan yang memberikan warna berbeda pada setiap lingkungan asam basa. Indikator alami yang diperoleh dari zat warna tumbuh-tumbuhan khususnya bagian bunga mempunyai sifat spesifik yaitu mempunyai trayek pH tetentu, mempunyai tingkat kecermatan dan keakuratan tertentu. Sifat ini dipengaruhi oleh cara ekstraksi dan preparasinya. Kajian ini akan meninjau dari senyawa zat warna alami, bahan pengekstrak, metode maserasi dan preparasinya agar dapat digunakan sebagai indikator uji borak (Siti, 2012). Indikator dari bahan alami ini akan sedikit memudahkan masyarakat luas untuk mengidentifikasi adanya bahan pengawet borak yang dilarang dalam makanan. Masyarakat tidak perlu bersusah payah mencari bahan kimia ataupun alat identifikasi borak, karena sebenarnya mereka bisa memanfaatkan tumbuhan alam disekitar mereka.
Adapun keunggulan pemanfaatan bahan alam sebagai indikator uji boraks ini yaitu sederhana, mudah didapat dan murah.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang terdapat dua permasalahan sebagai berikut:
1.    Bahan alami apa saja yang dapat dimanfaatkan sebagai indikator borak?
2.    Bagaimana perbandingan uji borak dengan indikator konvensional dan
      indikator alam?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari analisis indikator alam sebagai uji boraks adalah sebagai berikut:
1.    Dapat mengetahui apa saja bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai indikator borak
2.    Mampu membandingkan pengujian borak dengan indikator konvensional dan indikator alam

1.4  Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari pemanfaatan bahan alam sebagai indikator boraks adalah:
1.    Bagi Mahasiswa
a.    Memberi pengetahuan tentang apa saja bahan alam yang bisa digunakan sebagai indikator borak, sehingga diharapkan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
b.    Menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan teori-teori yang telah diperoleh di bangku kuliah
2.      Bagi Masyarakat
Dapat memudahkan masyarakat dalam identifikasi bahan pengawet yang dilarang dalam makanan secara sederhana dan efisien menggunakan indikator alami

3.      Bagi Peneliti

Untuk menindaklanjuti praktikum yang telah dilakukan ini terkait dengan pemanfaatan bahan alam sebagai indikator borak.



BAB II
DASAR TEORI

2.1  Bahan Tambahan Pangan
Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan. BTP ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan agar kualitasnya meningkat. Pemakaian BTP merupakan  salah satu langkah teknologi yang diterapkan oleh industri pangan berbagai skala. Sebagaimana langkah teknologi lain, maka resiko-resiko kesalahan dan penyalahgunaan tidak dapat dikesampingkan. Bahan tambahan pangan pada umumnya merupakan bahan kimia yang telah diteliti dan diuji lama sesuai dengan kaidah – kaidah ilmiah yang ada. Pemerintah telah mengeluarkan aturan-aturan pemakaian BTP secara optimal (Cahyadi, 2008).

2.1.1 Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan
Penggolongan BTP yang diizinkan digunakan pada pangan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 722 tahun 1988 adalah sebagai berikut :
1.      Pewarna, yaitu BTP yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada pangan.
2.      Pemanis buatan, yaitu BTP yang dapat menyebabkan rasa manis pada pangan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi.
3.      Pengawet, yaitu BTP yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruaian lain pada ccm pangan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba.
4.      Antioksida, yaitu BTP yang dapat mencegah atau menghambat proses oksidasi lemak sehingga mencegah terjadinya ketengikan.
5.      Anti kempal, yaitu BTP yang dapat mencegah mengempalnya (menggumpalnya) pangan yang berupa serbuk seperti tepung atau bubuk.
6.      Penyedap rasa dan aroma, menguatkan rasa, yaitu BTP yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa aroma.
7.      Pengatur keasaman (pengasam, penetral dan pendapar) yaitu BTP yang dapat mengasamkan, menetralkan dan mempertahankan derajat keasaman pangan.
8.      Pemutih dan pematang tepung, yaitu BTP yang dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat memperbaiki mutu  pemanggangan.
9.      Pengemulsi, pemantap dan pengental yaitu BTP yang dapat membantu terbentuknya dan memantapkan system dipersi yang homogen pada pangan.
10.  Pengeras, yaitu BTP yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya pangan.
11.  Sekuestran, yaitu BTP yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam pangan, sehingga memantapkan warna, aroma dan tekstrur.

2.1.2 Bahan Tambahan Pangan yang dilarang
Beberapa bahan tambahan yang dilarang dalam makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI  sebagai berikut ini.
1.      Natrium tetraborat (borak)
2.      Formalin (formaldehyd)
3.      Minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils)
4.      Kloramfenikol (chlorampenicol)
5.      Kalium klorat (pottasium chlorate)
6.      Dietilpirokarbonat (dietylpyrocarbonate, DEPC)
7.      Nitrofuranzon (nitrofuranzone)
8.      P-Phenetilkarbamida (p-phenethylcarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenyl urea)
9.      Asam salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt)
Namun, selain bahan tambahan pangan di atas masih ada tambahan kimia yang dilarang, seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), dulsin (pemanis sintetis) dan potasium bromat (pengeras).

2.2 Zat Pengawet
Peranan bahan tambahan pangan (BTP) khususnya bahan pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi BTP sintesis. Banyaknya BTP dalam bentuk lebih murni dan tersedia secara komersil dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian BTP yang berarti meningkatkan konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu (Cahyadi, 2008). Meningkatnya pertumbuhan industri makanan di Indonesia, telah terjadi peningkatan produksi  makanan yang beredar di masyarakat. Zat pengawet terdiri dari zat pengawet organik dan anorganik dalam bentuk asam dan garamnya.

1.2.1        Zat pengawet organik
Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida. Asam askorbat terutama digunakan untuk mencegah pertumbuhan kapang dan bakteri dengan jalan mencegah kerja enzim dehidrogenase terhadap asam lemak. Struktur α-diena pada asam sorbat dapat mencegah oksidasi asam lemak. Sorbat aktif pada pH di atas 6,5 dan keaktifannya menurun dengan meningkatnya pH. Bentuk yang digunakan umumnya adalah garam Natrium dan Kalium sorbat. Asam propionat (CH3CH2COOH) dengan struktur yang terdiri tiga atom karbon tidak dapat dimetabolime mikroba. Garam propionat yang digunakan adalah garam natrium dan kalsiumnya, dan bentuk efektifnya adalah bentuk molekul tidak terdisosiasi (Cahyadi, 2008).
Propionat efektif terhadap kapang dan beberapa khamir pada pH di atas 5. Asam benzoat (C6H5COOH) digunakan untuk mencegah pertumbuhan kamir dan bakteri (efektif pH 2.4 – 4.0). Kelarutan garam tersebut lebih besar, maka yang biasa digunakan adalah bentuk garam Natrium benzoat. Sedangkan dalam bahan, garam benzoat terurai menjadi bentuk efektif yaitu bentuk asam benzoat yang tak terdisosiasi. Asam benzoat secara alami terdapat pada cengkeh dan kayu manis. Tubuh mengalami mekanisme detoksifikasi terhadap asam benzoat, sehingga tidak terjadi penumpukan asam benzoat (Cahyadi, 2008).

1.2.2        Zat Pengawet Anorganik
Zat pengawet anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, nitrat, dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na, atau K – sulfit, bisulfit dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit tak terdisosiasi (terutama terbentuk pada pH di bawah 3). Molekul sulfit mudah menembus dinding sel mikroba bereaksi dengan asetaldehida membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi mikroba, mereduksi ikatan disulfida enzim, dan bereaksi dengan keton membentuk hidrosisulfonat yang dapat menghambat mekanisme pernafasan. Sulfit juga dapat bereaksi dengan gugus karbonil dan hasilnya mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur dioksida juga dapat berfungsi sebagai antioksidan dan meningkatkan daya kembang terigu (Cahyadi, 2008).

2.3 Natrium Tetraborat ( Borak )
Boraks adalah senyawa berbentuk kristal putih tidak berbau dan stabil pada suhu dan tekanan normal. Borak merupakan senyawa kimia dengan nama natrium tetraborat (Na2B4O7). Jika larut dalam air akan menjadi hidroksida dan asam borat (H3BO3). Boraks atau asam borak biasanya digunakan untuk bahan pembuat deterjen, mengurangi kesadarahan air dan antiseptik (Wardayati, 2012). Adapun struktur dari borak yaitu:


Sudah tidak asing lagi bahwa banyak zat-zat berbahaya yang langsung dicampur sebagai bahan tambahan makanan, salah satu zat yang sering digunakan yaitu ‘borak’ atau ‘bleng’.  Borak  bersifat  desinfektan  yang  digunakan  sebagai  pengawet  kayu  (Vogel, 1985).   Borak  sering  disalahgunakan  sebagai  bahan  penambahan  makanan, penambahan  senyawa  borak  berfungsi  untuk  memperbaiki  tekstur  makanan  sehingga menghasilkan  tekstur  yang  kenyal  dan  mengkilat.  Konsumsi  borak  dalam  jumLah yang sedikit  pada  jangka  panjang  memberikan  dampak  serius  bagi  tubuh,  mulai  dari gangguan  pencernaan,  ganguan  syaraf,  anemia,  kerontokan  rambut  hingga meningkatkan  resiko  terjadinya  kanker  (bersifat  karsinogen).  Menurut  Peraturan Menteri Kesehatan nomor 722 tentang bahan tambahan makanan, borak  termasuk  bahan  yang  berbahaya  dan  beracun  sehingga  tidak  boleh  digunakan sebagai bahan tambahan makanan (Cahyadi, 2008).
Teridentifikasinya borak pada makanan-makanan tersebut dapat kita rasakan pula perbedaannya dengan makanan yang tidak menggunakan borak. Boraks beracun terhadap semua sel, bila tertelan borak dapat mengakibatkan efek pada susunan syaraf pusat, ginjal dan hati. Konsentrasi tertinggi dicapai selama ekskresi. Ginjal merupakan organ paling mengalami kerusakkan dibandingkan dengan orang lain. Dosis fatal untuk dewasa yaitu 15 - 20 gram, sedangkan untuk anak-anak 3 - 6 gram. Pemerintah telah memperbolehkan penggunaan boraks sebagai bahan makanan, namun dibatasi oleh UU Kesehatan dan Keselamatan Nasional, batasnya hanya 1 gram per 1 kilogram pangan, bila lebih, itu ilegal, pelaku akan dipajara 12 tahun bila menambahkan lebih dari 1 gram per 1 kilogram pangan (Depkes, 2000). Dalam dunia industri, boraks menjadi :
a.       bahan solder,
b.      bahan pembersih,
c.       pengawet kayu,
d.      antiseptik kayu,
e.       dan pengontrol kecoak.

2.4 Titrasi Asam-Basa
Titrasi asan basa merupakan metode analisis kimia konvensional yang digunakan untuk menentukan konsentrasi asam maupun basa. Sampai saat ini metode titrasi masih digunakan walaupun telah berkembang metode-metode lain dengan menggunakan instrumen tertentu karena metode titrasi merupakan metode yang cukup sederhana, mudah, murah dan aman jika diaplikasikan pada makanan.
Titrasi asam basa didasarkan pada titik ekuivalen antara asam dan basa. Titik ekuivalen biasanya ditentukan dengan titik akhir titrasi yaitu pada saat konsentrasi asam ekuivalen dengan konsentrasi basanya. Titik akhir titrasi ditandai dengan penambahan substansi ke dalam larutan analit sehingga terjadi perubahan warna setelah titik ekuivalen terjadi. Substansi yang ditambahkan ke dalam analit tersebut disebut sebagai indikator (Marwati, 2012).
Indikator titrasi asam basa adalah zat-zat warna yang warnanya bergantung pada pH larutan, atau zat yang dapat menunjukkan  sifat  asam, basa dan netral. Sebagai  contoh  kertas  lakmus  merah atau biru, berwarna merah dalam larutan yang pHnya lebih  kecil  dari  5,5  dan  berwarna  biru dalam  larutan yang pHnya lebih besar dari 8. Larutan yang memiliki pH 5,5 – 8, warna lakmus adalah kombinasi wana merah dan biru. Batas-batas pH saat indikator mengalami perubahan warna disebut trayek indikator
Indikator yang sering digunakan dalam titrasi asam basa adalah indikator phenolptalin (pp) dan indikator metil orange (mo). Indikator-indikator ini merupakan indikator kimiawi dan dijual di pasaran dengan harga yang relatif mahal. Masih banyak indikator kimiawi yang telah digunakan untuk titrasi asam basa yang disesuaikan dengan trayek pH dari indikator tersebut. Selain indikator komersial, telah ditemukan indikator dari bahan alami misalnya dari bunga mawar (Catharantus roseus) (Kokil, 2006), bunga pukul empat (Miriabillis yalapa), bunga kana (Canna indica) (Shishir, dkk, 2008), bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) dan bayam merah (Bisella alba) (Izonfuo, 2006). Hampir semua tumbuhan yang menghasilkan warna dapat digunakan sebagai indikator karena dapat berubah warna pada suasana asam dan basa walaupun kadang-kadang perubahan warna tersebut kurang jelas atau hampir mirip untuk perubahan pH tertentu. Masing-masing bunga penghasil warna mempunyai sifat spesifik pada penggunaannya sebagai indikator alami. Sifat-sifat tersebut antara lain mempunyai trayek pH yang spesifik, dalam bentuk larutan tidak tahan lama, mudah rusak dan berbau tidak sedap serta mempunyai kecermatan dan keakuratan tertentu pada titrasi asam basa tertentu.
Berdasarkan uraian di atas maka hasil praktikum mandiri ini akan mengulas permasalahan dari aplikasi beberapa ekstrak bunga berwarna sebagai indikator alami pada titrasi  asam basa yang ditinjau dari kecermatan dan keakuratannya jika dibandingkan dengan indikator kimiawi seperti indikator pp dan mo. Jika tingkat kecermatan dan keakuratan indikator alami yang diaplikasikan pada titrasi asam basa diketahui maka diharapkan dapat memilih indikator alami dari ekstrak bunga berwarna tertentu untuk titrasi asam basa tertentu dengan tingkat kecermatan dan keakuratan yang tinggi.

2.5 Indikator buatan dan indikator alam
Senyawa asam mempunyai rasa asam, sedangkan senyawa basa mempunyai rasa pahit. Namun begitu, tidak dianjurkan untuk mengenali asam dan basa dengan cara mencicipinya, sebab banyak diantaranya yang dapat merusak kulit (korosif) atau bahkan bersifat racun. Asam dan basa dapat dikenali dengan menggunakan zat indikator, yaitu zat yang memberi warna berbeda dalam lingkungan asam dan lingkungan basa (zat yang warnanya dapat berubah saat berinteraksi atau bereaksi dengan senyawa asam maupun senyawa basa). Dalam laboratorium kimia, indikator asam-basa yang biasa di gunakan ada 2 yaitu indikator alam dan indikator buatan.

2.5.1 Indikator Buatan
Indikator buatan adalah indikator siap pakai yang sudah dibuat di laboratorium atau pabrik alat-alat kimia. Contoh indikator buatan adalah kertas lakmus, yang terdiri dari lakmus merah dan lakmus biru, indikator universal, fenolptalin, dan metal jingga. Asam, basa, dan garam dapat diidentifikasi menggunakan kertas lakmus. Kertas lakmus merah di dalam larutan asam akan tetap merah, di dalam larutan basa akan berwarna biru. Indikator universal, fenolptalin, dan metil jingga selain dapat mengidentifikasi sifat larutan asam basa juga dapat digunakan untuk menentukan derajat keasaman (pH) larutan.

2.5.2 Indikator Alam
Indikator alami berasal dari bahan organik. Indikator alami merupakan bahan-bahan alam yang dapat berubah warnanya dalam larutan asam,basa, dan netral, namun tidak bisa menunjukkan nilai pH-nya. Indikator alam yang biasanya dilakukan dalam pengujian asam basa adalah tumbuhan yang berwarna mencolok, berupa bunga-bungaan, umbi-umbian, kulit buah, dan dedaunan. Perubahan warna indikator bergantung pada warna jenis tanamannya, misalnya kembang sepatu merah di dalam larutan asam akan berwarna merah dan di dalam larutan basaakan berwarna hijau, kol ungu di dalam larutan asam akan berwarna merah keunguan dan di dalam larutan basa akan berwarna hijau. Contoh indikator alami yaitu, ekstrak bunga sepatu, ekstrak bunga mawar, kunyit dan lain-lain.

2.6 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan asal dengan menggunakan pelarut (Syamsuni, 2006). Zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Depkes, 2000). Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006).
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara (Depkes, 2000) yaitu :



2.6.1 Tanpa pemanasan
1. Maserasi
Maserasi berasal dari kata macerare artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah penarikan cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni, 2006) dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Keuntungan dari metode maserasi yaitu prosedur dan peralatannya sederhana. Sedangkan untuk kerugiannya, metode maserasi ini pengerjannya lama karena harus dilakukan selama 24 jam (Depkes, 2000).

2.  Perkolasi
Perkolasi adalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut perkolator dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan (Syamsuni, 2006). Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Depkes, 2000). Keuntungan dari metode perkolasi ini adalah proses penarikan zat berkhasiat dari tumbuhan lebih sempurna, sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu yang lama dan peralatan yang digunakan mahal (Agoes, 2007).

2.6.2 Menggunakan pemanasan
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan pelarut akan terdestilasi menuju pendingin dan akan kembali ke labu (Depkes, 2000). Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes, 2000).
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi kontinyu menggunakan alat soklet. Pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan merendam sampel yang mengisi bagiantengah alat soklet, setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi, demikian berulang ulang (Depkes, 2000).
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC (Depkes, 2000).
4. Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Depkes, 2000).
5. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (suhu lebih dari 30oC) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes, 2000).


BAB III
METODOLOGI

3.1   Alat
1.  Neraca analitik
2.  Gelas piala 100 mL dan 250 mL
3.  Erlenmeyer 100 mL
4.  Buret 50 mL
5.  Labu Ukur 100 mL dan 250 mL
6.  Kaca Arloji
7.  Pengaduk Kaca
8.  Pipet Ukur 10 mL
9.  Pipet tetes
10. Indikator Universal
11. Saringan
12. Corong Gelas
13. Kompor Listrik
14. Tabung Reaksi dan Rak
15. Statif dan Klem
16. Plat tetes
17. Spatula
18. Mortar

3.2   Bahan
1.  Bahan Alam (Kunyit, Kayu Secang, Bunga Sepatu, Bunga Bugenvil, Kubis
Ungu)
2. Sampel Tahu
3.  HCl 0,1 N
4.  NaOH 0,1 N
5.  Na2CO3.2H2O 0,14 N
6.  Na2B4O7­.10H2O 0,2 N
7.  Indikator Fenolftalein
8.  Akuades

3.3     Cara Kerja
3.3.1 Pembuatan Indikator Alam (metode maserasi)
            Kunyit 25 gram ditumbuk hingga halus menggunakan mortar, kemudian dimasukkan dalam gelas piala 100 mL. Larutan kunyit dilarutkan dengan 50 mL akuades panas sambil diaduk. Selanjutnya didiamkan selama 1 hari, sehingga diperoleh larutan indikator alami kunyit. Langkah diulangi untuk kayu secang, kol ungu, bunga bugenvil, bunga  sepatu

3.3.2 Pembuatan Larutan Natrium Hidroksida (NaOH) 0,1 N
            NaOH 0,4 gram dilarutkan dengan sedikit akuades dalam gelas piala 100 mL, kemudian NaOH diaduk hingga larut. Larutan NaOH dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. Selanjutnya larutan diseka dan digojog homogen.

3.3.3 Pembuatan Larutan HCl 0,1 N
            Larutan HCl pekat dipipet sebanyak 2,076 mL ke dalam labu ukur 250 mL, kemudian diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. Larutan HCl 0,1 N diseka dan digojog hingga homogen.

3.3.4 Pembuatan Larutan Na2B4O7.10H2O 0,2 N
            Na2B4O7.10H2O 3,81 gram dilarutkan dengan sedikit akuades dalam gelas piala 100 mL dan diaduk hingga larut. Larutan dipindah ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. Selanjutnya, larutan diseka dan digojog homogen.


3.3.5 Pembuatan Larutan Na2CO3.2H2O 0,14 N sebanyak 100 mL
            Na2CO3.2H2O 1,06 gram dilarutkan dengan sedikit akuades dalam gelas piala 100 mL dan diaduk hingga larut. Larutan dipindah ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. Kemudian larutan diseka dan digojog homogen.

3.3.6 Penentuan Range pH Indikator Alam
            Larutan pH 2 ditetesi pada plat tetes (5 titik). Masing-masing titik larutan pH 2 ditetesi dengan 5 indikator alam. Larutan pH 2 diamati perubahan warna yang terjadi dan dicatat. Penetesan diulangi pada PH 4, 6, 8, 10 dan 12.

3.3.7        Uji Indikator pada tahu
            Pada sampel tahu berborak dan tahu non borak, sampel tahu diletakkan pada plat tetes masing-masing 5 titik. Masing-masing titik tahu borak dan non borak ditetesi menggunakan indikator alam. Kemudian diamati perubahan warna yang terjadi pada masing-masing tahu. Penetesan sampel tahu dilakukan berulang  pada hari ke-2, ke-3, ke-4, dan ke-5. Perubahan warna yang terjadi pada tahu tiap harinya diamati dan dicatat

3.3.8 Standarisasi Larutan HCl 0,1 N
            Natrium karbonat dihidrat 0,53 gram dimasukkan dalam gelas piala 100 mL. Larutan dilarutkan dengan sedikit akuades dan diaduk hingga larut. Selanjutnya larutan dipindah larutan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan hingga tanda batas. Kemudian larutan diseka dan digojog homogen
            Larutan Na2CO3.2H2O 0,14 N dipipet sebanyak 10 mL ke dalam erlenmeyer 100 mL. Larutan ditambah 3 tetes indikator PP. Campuran dititrasi menggunakan larutan HCl 0,1 N hingga menjadi tidak berwarna. Volume HCl yang dibutuhkan untuk titrasi dicatat. Langkah diulangi sebanyak 3 kali

3.3.9 Penentuan Konsentrasi Larutan Boraks dengan Indikator PP dan Indikator Alam
Larutan dinatrium tetraborat anhidrat (borak) dipipet sebanyak 10 mL ke dalam erlenmeyer 100 mL. Kemudian ditambah 3 tetes indikator PP. Larutan dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna. Selanjutnya volume HCl 0,1 N yang diperlukan untuk menitrasi dicatat. Langkah diulangi sebanyak 3 kali titrasi dan diulangi dengan mengganti indikator PP dengan indikator alam.


 BAB IV
                           HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1  Preparasi Indikator Alami
Indikator alami merupakan bahan-bahan alam yang dapat berubah warnanya dalam larutan asam,basa, dan netral, namun tidak bisa menunjukkan nilai pH-nya. Pengambilan warna indikator alami dilakukan dengan proses ekstraksi. Proses ini melibatkan adanya transfer massa dari padatan ke fasa cairan yang lebih dikenal dengan ektraksi padat cair. Peristiwa ekstraksi dapat dianggap sebagai transfer massa yang meliputi difusi zat warna dari dalam padatan ke permukaan padatan, perpindahan massa zat warna dari permukaan padatan ke cairan dan difusi zat warna di dalam cairan (Samun, 2008). Penggunaan indikator alami ini diawali dengan proses ekstraksi dari bahan alam misalnya pada bunga, kubis, ataupun umbi-umbian. Bahan pengekstrak dalam hal ektraksi padat cair disebut sebagai fasa cair antara lain akuades, akuades panas, n-heksana, metanol, campuran metanol - HCl dan campuran etanol - air (Bayu , 2008).
Ekstraksi dilakukan menggunakan fasa cair akuades panas dengan metode maserasi. Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu  kamar (Syamsuni, 2006). Bahan alami yang digunakan yaitu kunyit, bunga sepatu, bunga bugenvil, kubis Uungu dan kayu secang. Preparasi dilakukan dengan menumbuh bahan-bahan alami menggunakan mortar. Masing-masing bahan alami dimaserasi dengan pelarut akuades panas dalam wadah dan di tunggu selama 24 jam. Hasil ekstrak indikator alami ini diletakkan dalam wadah yang tertutup untuk menghindari kemungkinan adanya pengaruh lingkungan yang bisa berdampak pada perubahan sifat kimia dari indikator. Masing-masing indikator ini akan menghasilkan warna ekstrak yang berbeda-beda. Prinsip indikator alami ini adalah bahan yang memberikan warna berbeda pada setiap lingkungan asam basa. Seperti telah diketahui bahwa indikator alami mempunyai kelemahan yaitu indikator alami dalam bentuk larutan mudah rusak, larutan tidak tahan lama dan berbau tidak sedap. Hal ini juga akan mempengaruhi tingkat kecermatan dan keakuratannya jika digunakan sebagai indikator titrasi asam basa (Marwati, 2010). Agar indikator tersebut dapat digunakan dalam waktu yang relatif lama (kurang lebih 3 bulan) maka indikator tersebut disimpan pada temperatur 15 oC (Marwati, 2011). Oleh karena itu preparasi indikator alami titrasi asam basa perlu meninjau tingkat kestabilan dari senyawa-senyawa zat warna yang terdapat dalam tumbuhan.

4.2  Penentuan Rentang pH pada Indikator Alam
Sebelum melakukan pengujian indikator, terlebih dahulu mengukur rentang pH pada tiap indikator alam. Tujuannya, untuk mengetahui rentang PH dari tiap indikator yang diuji. Pada pengukuran pH, yang dilakukan yaitu membuat larutan buffer pada pH 2, 4, 6, 8, 10, dan 12. Melalui larutan pH ini, dapat diketahui perubahan warna pada indikator alam. Karakter berupa trayek pH juga dipengaruhi oleh fasa cair yang digunakan pada proses ektraksi. Hal ini dapat dilihat contoh perubahan warna untuk setiap perubahan pH pada Tabel 4.1


Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui rentang pH tiap indikator alam. Pada indikator kayu secang rentang pH 4- 6 terjadi perubahan warna dari kuning hingga orange kecoklatan, pada pH 6 - 8 perubahan warna yang terjadi dari orange kecoklatan sampai berwarna merah muda. Kedua, pada indikator bunga sepatu rentang pH terjadi pada pH 6 - 8 yaitu perubahan warna merah kecoklatan hingga coklat bening, kemudian pada pH 10 - 12 terjadi perubahan dari berwarna coklat kehijauan hingga berwarna hijau tua. Ketiga, pada indikator bunga bugenvil rentang pHnya ≤6 - 8 dengan perubahan warna dari merah muda hingga coklat keunguan. Keempat, pada kubis ungu terjadi perubahan warna pada rentang pH 2 - 4 dari warna merah muda sampai ungu muda. Selanjutnya pada pH 8 - 10 terjadi perubahan warna dari ungu kebiruan hingga biru pucat. Kemudian perubahan warna dari biru pucat menjadi hijau terjadi pada rentang pH 10 - 12. Kelima, pada indikator kunyit hanya terjadi rentang pH pada pH 6 - 8 yaitu perubahan warna dari kuning kecoklatan menjadi coklat kekuningan.

4.1  Uji Indikator Alam pada Tahu Tidak berborak dan Tahu Berborak
Pada uji borak, dilakukan penetesan pada 2 sampel tahu yaitu tahu tidak berborak dan tahu yang diberi borak menggunakan indikator alam selama 5 hari. Kedua sampel tahu tersebut diletakkan pada plat tetes yang berbeda. Plat tetes yang digunakan pada praktikum ini merupakan plat atau tempat (wadah) yang memang digunakan untuk penetesan. Masing-masing sampel tersebut diambil sedikit dan diletakkan pada plat tetes, masing-masing sebanyak 5 titik. Kemudian sampel ditetesi indikator alam pada titik-titik tersebut. Perlakuan ini dilakukan selama 5 hari berturut-turut. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada perubahan asam basa pada 2 sampel tahu tersebut terkait dengan perubahan warna selama uji 5 hari. Saat penetesan, dicatat setiap perubahan warnanya. Hasil perubahan warna pada sampel tahu selama 5 hari dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Berdasarkan Tabel 4.2, diperoleh indikator alami yang menunjukkan reaksinya pada uji tahu berborak, yaitu pada indikator kayu secang dan kubis ungu. Pada penetesan hari pertama, indikator kayu secang dan kubis ungu sudah menunjukkan perbedaan warna pada sampel tahu non borak dan tahu berborak. Namun, indikator kayu secang hanya mampu bertahan pada uji tahu berborak sampai hari ke-2. Untuk indikator kubis ungu mampu memberikan reaksinya pada usia tahu 3 hari (hari ke-3).


Kandungan kimia dari kayu secang meliputi asam galat, tanin, resin, resorsin, brasilin, brasilein, d-alfa-phellandrene, oscimene, minyak atsiri. Warna merah yang dihasilkan oleh kayu secang merupakan komposit brazilin yang terdiri dari senyawa brazilin, brazilein, dan 3’-O-metilbrazilin. Brazilin (C16H14O5) adalah zat warna merah dari kayu secang yang terbentuk pada ekstrak cair pada suasana pH netral. Sedangkan perubahan warna pada kubis ungu ini sesuai dengan  perubahan warna pada antosianin untuk setiap perubahan  pH (Harborn, 1987) dan (Aji, 2010). Perubahan warna untuk setiap perubahan pH berbeda-beda tergantung dari proses ekstraksinya dan kesetabilan senyawa antosianin. Secara kimiawi  antosianin  merupakan struktur aromatik  tunggal, yaitu sianidin dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi (Harborn, 1987).

4.1  Standarisasi Larutan HCl 0,1 N menggunakan larutan Na2CO3.2H2O   0,14 N
Standarisasi adalah proses yang digunakan untuk menentukan secara teliti konsentrasi suatu larutan. Terdapat dua macam larutan standar yaitu standar primer dan standar sekunder. Standar primer biasanya dibuat dengan cara menimbang dengan teliti suatu solute kemudian melarutkannya ke dalam volume larutan yang secara teliti diukur volumenya. Syarat-syarat dari standar primer adalah :
1. Murni, jumlah pengotornya tidak lebih dari 0.01 - 0.02%
2. Stabil, tidak higroskopis dan tidak mudah bereaksi dengan udara
3. Mempunyai berat ekivalen yang cukup tinggi untuk mengurangi kesalahan  
  pada waktu penimbangan.
Larutan standar primer digunakan untuk menstandarisasi larutan standar sekunder, larutan standar sekunder selanjutnya digunakan untuk penentuan suatu larutan atau cuplikan.
Larutan baku sekunder pada percobaan ini adalah asam klorida (HCl) karena berat molekulnya lebih kecil dan derajat kemurnian lebih rendah daripada larutan baku primer, larutannya relatif stabil dalam penyimpanan, Sedangkan yang bertindak sebagai larutan baku primer adalah natrium karbonat (Na2CO3.2H2O), karena berat molekulnya lebih besar, mudah diperoleh, dimurnikan, dikeringkan dan disimpan dalam keadaan murni, tidak bersifat higroskopis dan tidak berubah berat dalam penimbangan di udara. Natrium karbonat adalah zat padat, halus, putih, larut baik dalam air.
Pada standarisasi larutan HCl dengan natrium karbonat dihidrat (Na2CO3.2H2O), diperoleh reaksi antara HCl dengan Na2CO3.2H2O   seperti di bawah ini :
Reaksi             : 2HCl + Na2CO3.2H2O                             2NaCl + H2O + CO2

Hal yang pertama yang dilakukan dengan menimbang 1,06 gram natrium karbonat dihidrat (Na2CO3.2H2O) dan melarutkannya ke dalam labu ukur 100 mL dengan penambahan akuades sampai tanda batas, kemudian diseka dan dihomogenkan. Dalam larutan Na2CO3.2H2O 0,14 N yang telah dibuat, selanjutnya diambil 10 mL larutan Na2CO3.2H2O dan dimasukkan dalam erlenmeyer 100 mL, kemudian ditambahkan 3 tetes indikator PP. Penambahan indikator PP berfungsi untuk menentukan titik akhir titrasi asam basa, dimana warna akan berubah setelah larutan menjadi netral. Perubahan warna ini dipengaruhi oleh pH lingkungan. Larutan Na2CO3.2H2O ini dititrasi dengan asam klorida (HCl), sampai terjadi perubahan warna dari berwarna merah muda menjadi tak berwarna. Titrasi ini dilakukan sebanyak 3 kali (triplo). Berdasarkan hasil titrasi, volume yang dibutuhkkan HCl untuk mencapai titik ekuivalen dan konsentrasi larutan HCl yang terhitung dapat dilihat pada Tabel 4.3.


Pada Tabel 4.3 nilai konsentrasi larutan HCl dihitung menggunakan rumus:
mgrek asam = mgrek basa
Hasil konsentrasi yang terhitung ini terdapat perbedaan dari hasil konsentrasi yang diperoleh dengan pengenceran. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya ketelitian dalam pengenceran larutan. Standarisasi HCl dengan Na2CO3.2H2O   ini menggunakan prinsip titrasi asidimetri. Alasan penggunaan titrasi asidimetri adalah karena sampel yang dianalisis bersifat basa, oleh sebab itu, titrantnya harus suatu larutan baku sekunder yang bersifat asam (titrasi asidimetri).



4.1    Penentuan Konsentrasi Larutan Borak Menggunakan Indikator Alami dan Indikator Konvensional (indikator PP)
Penentuan konsentrasi larutan borak bertujuan untuk menentukan nilai konsentrasi larutan borak setelah ditambahkan indikator konvensional (PP) dan indikator alami. Langkah awal yang dilakukan yaitu melakukan titrasi larutan boraks menggunakan larutan HCl 0,1 N. Titrasi ini dilakukan menggunakan 3 indikator yaitu indikator PP, indikator kayu secang dan indikator kubis ungu. Pada awal titrasi dilakukan menggunakan indikator PP sebagai pengujian konvensionalnya. Larutan borak diambil sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL. Kemudian ditambahkan 3 tetes indikator PP. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna dari merah muda menjadi tidak berwarna. Titrasi dilakukan berulang sebanyak 3 kali (triplo). Jumlah volume HCl yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir titrasi yaitu sebesar 19,7 mL; 20,0 mL dan 20,6 mL.
Selanjutnya, dilakukan titrasi juga menggunakan indikator alam yaitu indikator kayu secang dan indikator kubis ungu. Langkah yang dilakukan sam dengan titrasi menggunakan indikator PP, hanya saja indikatornya diganti menggunakan indikator kayu secang dan kubis ungu. Titrasi juga dilakukan pengulangan masing-masing sebanyak 3 kali. Pada titrasi menggunakan indikator kayu secang, terjadi perubahan warna dari berwarna pink keorange menjadi orange. Perubahan warna indikator kayu secang terjadi pada rentang pH 2 - 4. Volume yang dibutuhkan HCl untuk mencapai titik akhir titasi larutan borak menggunakan indikator kayu secang sebesar 19,4 mL; 19,9 mL dan 20,1 mL, sehingga diperoleh nilai rata-rata volume titrasi indikator kayu secang sebesar 19,8 mL. Sedangkan untuk titrasi menggunakan indikator kubis ungu, titik akhir titrasinya ditandai dengan perubahan warna dari ungu bening menjadi ungu kehijauan. Sehingga rentang pH yang terjadi antara pH 6 - 8. Sehingga, volume yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir titasi pada larutan boraks menggunakan indikator kubis ungu sebesar 20,4 mL; 20,5 mL dan 20,5 mL dengan nilai rata-rata volume titrasi indikator kubis ungu sebesar 20,5 mL.
Hasil titrasi menggunakan indikator konvensional dan indikator alam yang diperoleh selanjutnya ditentukan  konsentrasi larutan borak menggunakan indikator konvensional (PP) dan indikator alami. Hasil konsentrasi titrasi larutan boraks dapat dilihat pada Tabel 4.4.


Pada Tabel 4.4 menunjukkan  hasil perbandingan nilai konsentrasi menggunakan indikator kubis ungu merupakan indikator yang paling baik, yaitu mendekati nilai konsentrasi larutan borak menggunakan indikator konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa selisih konsentrasi larutan borak menggunakan indikator konvensional (PP) dan menggunakan indikator kubis ungu untuk pengujian borak lebih kecil daripada penggunaan indikator kayu secang.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis yaitu:
1.    Pada proses uji indikator pada tahu non borak dan tahu berborak didapat indikator kayu secang dan indikator kubis ungu yang lebih menunnjukkan perubahan warna yang spesifik. Ini berarti, indikator kubis ungu dan kayu secang dapat digunakan sebagai indikator alami untuk uji kualitatif borak.
2.    Pada hasil penentuan konsentrasi diperoleh nilai konsentrasi untuk indikator konvensional (PP) sebesar 0,1502 N. Sedangkan untuk indikator kayu secang dan kubis ungu berturut-turut sebesar 0,1380 N dan 0,1429 N. Perbandingan selisih konsentrasi (%) larutan borak antara penggunaan indikator konvensional (PP) - kayu secang dan indikator konvensional (PP) - kubis ungu terdapat perbedaan selisihnya yaitu berturut-turut 8,1 % dan 4,8 %. Hal ini menunjukkan bahwasannya selisih penggunaan indikator PP dengan indikator kubis ungu lebih kecil jika dibandingkan indikator kayu secang.

5.2 Saran
Saran yang diberikan untuk pengujian indikator alam sebagai uji borak selanjutnya yaitu:
1.    Pembuatan larutan asam dan basa menggunakan larutan buffer untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.
2.    Dilakukan penelitian lanjutan menggunakan larutan selain borak untuk mengetahui faktor koreksi indikator alam pada titrasi selain titrasi borak.

 DAFTAR PUSTAKA
Aji  C. M. 2010. Karaktrisasi trayek pH dan Spektrum Absorpsi Kubis Ungu (Brassica oleracea L). Laporan Penelitan FMIPA UNY: Yogyakarta
Bayu, K. 2008. Penggunaan ekstrak zat warna bunga pukul empat (Mirabilis jalapa L) sebagai indikator alami dalam titrasi asam basa. Skripsi. FMIPA UNAIR: Jember
Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Edisi kedua. Cetakan 1. Bumi Aksara: Jakarta
Day, R. A Jr., dan Underwood, A.L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga: Jakarta
Depkes. 2000. Parameter Standar Umim Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Jendral POM – Departemen Kesehatan RI: Jakarta
Fessenden, R. J., Fessenden, J. S. 1995. Kimia Organik Edisi ketiga Jilid I (Terjemahan Hendyana Pujaatmaka). Erlangga: Jakarta
Harborne J.B. 1987. Phytochemistry Methods. New York : Wiley
Izonfuo, L. T., Fekamhorhobo, G. K., Obomanu, G. K., Daworiye, L. T.. 2006. Acid Base Indicator Properties of Dye from Local Plant: Bassella alba and Hibiscus rosasinencis, Journal of Applied Sciences and Environmental Managemen. Vol 10, No 1, hal.5-8
Khamid. 1993. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Penerbit Kompas: Jakarta
Marwati, S. 2010. Aplikasi Beberapa Bunga Berwarna sebagai Indikator Alami Titrasi Asam Basa. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA FMIPA UNY.
 Marwati, S. 2011. Kestabilan warna Ekstrak Kubis Ungu (Brassica oleracea) sebagai Indikator Alami Titrasi Asam Basa. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA FMIPA UNY.
Pruetong, S., Saijeen, S., Thongfak, K. 2009. Study and Processing of Plant Extracts for Use as pH Indicators. International Conference on the Role of Universities in Hands-On Education Rajamangala University of Technology Lanna. 23-29 August 2009. Chiang-Mai. Thailand
Shisir, M. N., Laxman, J. R., Vinayak, R. N., Jacky, D. R., Bhimrao, G. S. 2006 Use of Miriabilis Jalapa L Flower Extracts as a Natural Indicator in Acid Base Titration. Journal of Pharmacy Research, Vol 1, hal. 2
Triastuti, Endang., Fatimawali., Max Revolta J.R,. 2013. Analisis Boraks pada Tahu yang diproduksi di Kota Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi-UNSRAT Vol. 2, No. 01, hal. 2302 - 2493.
Tutik, R. dan Das, S. 2007. Pengembangan Prosedur Penentuan Kadar Asam Cuka secara Titrasi Asam Basa dengan Berbagai Indikator Alami (Sebagai Alternatif Praktikum Titrasi Asam Basa di SMA. Laporan Penelitian. FMIPA UNY: Yogyakarta.
Tutik, R. P., Siti M., Antuni W. 2012. Karakter  Ekstrak  Zat Warna Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L) Sebagai Indikator Titrasi Asam Basa. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan Dan Penerapan Mipa Fmipa UNY.
Vogel. 1985. Buku  Teks  Analisis  Anorganik  Kualitatif  Makro  dan Semimikro (Terjemahan). PT Kalman Media Pustaka: Jakarta
Widyaningsih, T. D. dan Murtini, E.S. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana: Jakarta.
Yuliarti dan Nurheti. 2009. Awas! Dibalik Lezatnya Makanan. Edisi I. Penerbit Andi: Yogyakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar