Penentuan Logam Cu secara Spektrofotometer Serapan Atom
Keberadaan logam berat di perairan
dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain dari kegiatan pertambangan,
rumah tangga limbah pertanian dan limbah industri. Pencemaran yang dihasilkan
dari logam berat sangat berbahaya karena bersifat toksik, logam berat juga akan
terakumulasi dalam sedimen dan biota melalui proses gravitasi. Salah satu logam
berat yang termasuk bahan beracun dan berbahaya adalah tembaga (Cu), yaitu
salah satu logam berat yang banyak dimanfaatkan dalam industri, terutama dalam
industri elektroplating, tekstil dan industri logam. Ion Cu dapat terakumulasi
di otak, jaringan kulit, hati, pankreas dan miokardium (Rochyatun dkk, 2006).
Tembaga dengan nama kimia cupprum
dilambangkan dengan Cu. Unsur logam ini berbentuk kristal dengan warna
kemerahan. Tembaga menempati posisi dengan nomor atom (NA) 29 dalam tabel
periodik unsur-unsur kimia dan mempunyai bobot atau berat atom (BA) 63,546
g/mol (Palar, 2004). Keberadaan logam Cu di alam dapat ditemukan dalam bentuk
logam bebas, akan tetapi lebih banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan. Tembaga
merupakan unsur logam esensial yang dibutuhkan agar eritrosit dapat berkembang
secara tepat. Tembaga mempermudah penyerapan Fe dalam sintesis hemoglobin. Oleh
karena itu, kekurangan Cu akan menyebabkan anemia. Pada konsentrasi 0,01 ppm
fitoplankton akan mati karena Cu menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan
sel fitoplankton. Konsentrasi Cu dalam kisaran 2,5-3,0 ppm dalam badan perairan
akan membunuh ikan-ikan (Lu, 1995).
Logam berat umumnya bersifat racun terhadap makhluk hidup, walaupun
beberapa diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil. Melalui berbagai perantara,
seperti udara, makanan, maupun air yang terkontaminasi oleh logam berat, logam tersebut
dapat terdistribusi ke bagian tubuh manusia dan sebagian akan terakumulasikan.
Jika keadaan ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama dapat
mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia. Gejala yang timbul pada
manusia yang keracunan Cu akut adalah: mual, muntah, sakit perut, hemolisis,
netrofisis, kejang, dan akhirnya mati. Pada keracunan kronis, Cu tertimbun
dalam hati dan menyebabkan hemolisis. Hemolisis terjadi karena tertimbunnya H2O2
dalam sel darah merah sehingga terjadi oksidasi dari lapisan sel yang mengakibatkan
sel menjadi pecah. Defisiensi suhu dapat menyebabkan anemia dan pertumbuhan
terhambat (Darmono,1995).
Penentuan kadar logam
berat Cu dalam air sungai dapat dilakukan menggunakan metode spektrofotometer
serapan atom. Prinsip analisisnya yaitu berdasarkan absorpsi cahaya oleh atom
yang terdapat dalam sampel. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang
gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Seperti logam Cu menyerap
cahaya pada panjang gelombang 324,7 nm. Cahaya pada panjang gelombang ini
mempunyai cukup energi untuk mengubah ke tingkat elektronik suatu atom. Transisi
elektronik pada suatu atom bersifat sfesifik. Selain itu analisis logam Cu
dengan spektrofotometer serapan atom ditentukan pada suhu yang rendah karena
logam Cu termasuk logam berat yang mudah menguap. Logam Cu biasanya dianalisis
pada panjang gelombang 324,7 nm dengan sensitivitas 0,04 μm, tipe nyala menggunakan
udara-asetilen serta batas deteksi 0,002 μg/mL (Khopkar, 2007). Proses
atomisasi logam Cu dengan SSA yaitu dilakukan secara langsung, sampel di
hembuskan (diaspirasikan) secara langsung ke dalam nyala dan semua sampel akan
dihisap oleh pembakar melalui tabung kapiler (Rohman dan Ginanjar, 2007).
Spektrofotometer serapan atom (SSA) yang merupakan metode
analisis suatu unsur secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan
penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog
dkk, 2000). Metode SSA berprinsip pada absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom
menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat
unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang itu mempunyai cukup energi untuk
mengubah tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik suatu unsur
bersifat spesifik. Dengan absorbsi energi, berarti memperoleh lebih banyak
energi, terdapat lebih banyak energi yang akan dinaikkan dari keadaan dasar ke
keadaaan eksitasi dengan tingkat eksitasi yang bermacam-macam (Khopkar, 2007).
Prinsip analisis memakai instrumen SSA
adalah larutan sampel diaspirasikan ke suatu nyala dan unsur-unsur di dalam
sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala mengandung atom unsur-unsur yang
dianalis. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala,
tetapi kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam keadaan dasar (ground state). Atom-atom ground state ini kemudian menyerap
radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang terbuat dari unsur-unsur yang
bersangkutan. Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi adalah sama
dengan panjang gelombang yang diabsorpsi oleh atom dalam nyala. Absorpsi ini
mengikuti hukum Lambert-Beer, yakni absorbansi berbanding lurus dengan panjang
nyala yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam nyala. Apabila cahaya
dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel yang mengandung
atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya tersebut akan diserap
dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas
logam yang berada dalam sel. Hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi
diturunkan dari:
1.
Hukum Lambert: Bila
suatu sumber sinar monokromatik melewati medium transparan, maka intensitas
sinar yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya ketebalan medium yang
mengabsorpsi.
2.
Hukum Beer:
Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial dengan
bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut.
Dari kedua
hukum tersebut diproleh suatu persamaan:
A = a.b.c atau A = Ɛ.b.c
Dimana:
A : Absorbansi larutan
b : Tebal kuvet
c : Konsentrasi larutan
Ɛ : Tetapan absorptivitas molar (jika
konsentrasi larutan diukur dalam molar)
a : Tetapan absorptivitas (jika konsentrasi
larutan diukur dalam ppm)
Dari
persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa absorbansi cahaya berbanding lurus
dengan konsentrasi atom (Day dan Underwood, 2002).
Cara kerja spektrofotometer serapan atom ini berdasarkan atas penguapan sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (Hollow Cathode Lamp) yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya (Darmono, 1995).
Skema alat
SSA dilihat dari Gambar 2.2 meliputi:
1.
Sumber radiasi,
digunakan lampu katoda berongga (Hollow
Cathode Lamp).
Hollow Cathode Lamp terdiri dari katoda cekung yang silindris yang terbuat dari
unsur yang sama dengan yang akan dianalisis dan anoda yang terbuat dari
tungsten. Dengan pemberian tegangan pada arus tertentu, logam mulai memijar dan
atom-atom logam katodanya akan teruapkan dengan pemercikan. Atom akan
tereksitasi kemudian mengemisikan radiasi pada panjang gelombang.
2.
Atomizer, terdiri
atas nebulizer (mengubah atom menjadi
aerosol), spray chamber (membuat campuran homogen antara gas oksidan,
bahan bakar dan aerosol) dan burner (sistem tempat terjadinya
atomisasi).
3.
Monokromator, untuk
memisahkan radiasi resonansi yang telah mengalami absorbsi ke radiasi lainnya.
4.
Detektor, berfungsi
untuk mengukur radiasi yang ditransmisikan oleh sampel.
5. Komputer, sinyal
listrik yang keluar dari detektor diterima oleh piranti yang dapat menggambarkan secara otomatis kurva absorbsi
(Khopkar, 2007).
Gangguan yang sering dijumpai pada
analisis dengan SSA ada tiga macam, yaitu:
1.
Gangguan spektrum
Gangguan ini
timbul akibat terjadinya tumpah tindih antara frekuensi-frekuensi garis
resonansi unsur yang dianalisis dengan garis-garis yang dipancarkan oleh unsur
lain. Hal ini disebabkan karena rendahnya resolusi monokromator. Selain itu,
peristiwa absorbsi dan penghamburan juga akan menghasilkan kesalahan dalam pembacaan
absorbansi (Day dan Underwood, 2002).
2.
Gangguan kimia
Gangguan ini
disebabkan oleh pembentukan senyawa refraktori. Pembentukan senyawa
refraktori menyebabkan tidak sempurnanya disosiasi zat yang dianalisis bila
disemprotkan ke dalam nyala. Biasanya gangguan ini dapat diatasi dengan cara
menggunakan nyala dengan suhu yang lebih tinggi atau menambahkan unsur
penyangga, mengekstraksi unsur yang dianalisis (Day dan Underwood, 2002).
Beberapa usaha yang dapat dilakukan
untuk mengurangi gangguan kimia pada spektrofotometer serapan atom antara lain:
1.
Menaikkan
temperatur nyala agar mempermudah penguraian. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan gas pembakar campuran C2H2 + N2O
yang memberikan nyala dengan temperatur yang tinggi.
2.
Menambahkan elemen
pengikat gugus atau atom penyangga sehingga terikat kuat.
3.
Pengeluaran unsur
pengganggu dari matriks sampel dengan cara ekstraksi (Mulja dan Suharman,
1995).
3.
Gangguan oleh
penyerapan non-atomik
Gangguan ini
terjadi akibat penyerapan cahaya dari sumber sinar yang bukan berasal dari
atom-atom yang akan dianalisis. Penyerapan non-atomik dapat disebabkan adanya
penyerapan cahaya oleh partikel-partikel pengganggu yang berada di dalam nyala.
Cara mengatasi penyerpan non atomik ini adalah bekerja pada panjang gelombang
yang lebih besar (Rohman dan Ginanjar, 2007).
Sastrohamidjojo
(1991) analisis kuantitatif untuk penentuan kadar unsur dalam larutan dapat
digunakan beberapa metode yaitu sebagai berikut:
1.
Metode standar tunggal
Satu buah
larutan standar dan larutan sampel diukur absorbansinya kemudian konsentrasi
larutan sampel dapat dihitung berdasarkan rumus:
Dimana:
As
: Absorbansi
standar
Ax : Absorbansi
sampel
Cs
: Konsentrasi
larutan standar
Cx : Konsentrasi larutan sampel
2.
Metode kurva standar/kalibrasi
Dalam metode ini dibuat suatu seri
larutan standar dengan berbagai konsentrasi dan absorbansi dari larutan
tersebut diukur dengan SSA. Langkah selanjutnya adalah membuat grafik antara
konsentrasi (C) dengan absorbansi (A) yang merupakan garis lurus melewati titik
nol. Konsentrasi larutan sampel dapat dicari setelah absorbansi larutan sampel
diukur dan diinterpolasikan ke dalam kurva kalibrasi atau dimasukkan ke dalam
persamaan garis lurus yang diproleh dengan menggunakan program regresi linear
pada kurva kalibrasi.
3.
Metode adisi standar
Metode adisi standar yaitu suatu metode dengan menambahkan
larutan standar ke dalam sampel. Metode ini menggunakan dua atau lebih sampel .
Satu larutan diencerkan sampai volume tertentu kemudian diukur absorbansinya
tanpa ditambah dengan zat standar, sedangkan larutan yang lain sebelum diukur
absorbansinya di tambah dengan zat standar dan diencerkan seperti pada larutan
yang pertama. Volume sampel tetap sedangkan volume larutan standarnya berbeda.
Volume akhir yang diukur dengan menggunakan alat instrumen adalah sama. Jadi
yang memiliki variasi adalah konsentrasi larutan standarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rochyatun, E., Taufik, M. K. dan Abdul, R. (2006). Distribusi Logam Berat dalam Air dan Sedimen
di Perairan Muara Sungai Cisadane. Jurnal
Makara Sains, Vol 35-40. 10, No
1, Hal 35-40.
Palar,
H. (2004). Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka
Cipta.
Lu,
C. F.
(1995). Toksikolgi Dasar. Jakarta: UI
Press.
Khopkar, S.M. (2007). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Darmono. (1995). Logam
dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UI-Press.
Rohman, A. dan Ginanjar, I. G. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Day,
R. A., dan Underwood, A. L. (2002). Analisis
Kimia Kuantitaif. Edisi kelima Jakarta: Erlangga.
Skoog, D. A., Holler, F. J. dan Nieman, T. A. (2000). Fundamentals Of Analytical Chemistry. USA:
Brooks Cole.
Sastrohamidjojo, H. (1991). Dasar-Dasar
Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty.
Mulja,
M. dan Suharman. (1995). Analisis
Instrumental. Surabaya: Airlangga University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar