Selasa, 28 Juli 2015

penentuan logam Cu secara spektrofotometer serapan atom

Penentuan Logam Cu secara Spektrofotometer Serapan Atom
         Keberadaan logam berat di perairan dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain dari kegiatan pertambangan, rumah tangga limbah pertanian dan limbah industri. Pencemaran yang dihasilkan dari logam berat sangat berbahaya karena bersifat toksik, logam berat juga akan terakumulasi dalam sedimen dan biota melalui proses gravitasi. Salah satu logam berat yang termasuk bahan beracun dan berbahaya adalah tembaga (Cu), yaitu salah satu logam berat yang banyak dimanfaatkan dalam industri, terutama dalam industri elektroplating, tekstil dan industri logam. Ion Cu dapat terakumulasi di otak, jaringan kulit, hati, pankreas dan miokardium (Rochyatun dkk, 2006).
         Tembaga dengan nama kimia cupprum dilambangkan dengan Cu. Unsur logam ini berbentuk kristal dengan warna kemerahan. Tembaga menempati posisi dengan nomor atom (NA) 29 dalam tabel periodik unsur-unsur kimia dan mempunyai bobot atau berat atom (BA) 63,546 g/mol (Palar, 2004). Keberadaan logam Cu di alam dapat ditemukan dalam bentuk logam bebas, akan tetapi lebih banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan. Tembaga merupakan unsur logam esensial yang dibutuhkan agar eritrosit dapat berkembang secara tepat. Tembaga mempermudah penyerapan Fe dalam sintesis hemoglobin. Oleh karena itu, kekurangan Cu akan menyebabkan anemia. Pada konsentrasi 0,01 ppm fitoplankton akan mati karena Cu menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton. Konsentrasi Cu dalam kisaran 2,5-3,0 ppm dalam badan perairan akan membunuh ikan-ikan (Lu, 1995).
Logam berat umumnya bersifat racun terhadap makhluk hidup, walaupun beberapa diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil. Melalui berbagai perantara, seperti udara, makanan, maupun air yang terkontaminasi oleh logam berat, logam tersebut dapat terdistribusi ke bagian tubuh manusia dan sebagian akan terakumulasikan. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia. Gejala yang timbul pada manusia yang keracunan Cu akut adalah: mual, muntah, sakit perut, hemolisis, netrofisis, kejang, dan akhirnya mati. Pada keracunan kronis, Cu tertimbun dalam hati dan menyebabkan hemolisis. Hemolisis terjadi karena tertimbunnya H2O2 dalam sel darah merah sehingga terjadi oksidasi dari lapisan sel yang mengakibatkan sel menjadi pecah. Defisiensi suhu dapat menyebabkan anemia dan pertumbuhan terhambat (Darmono,1995).
         Penentuan kadar logam berat Cu dalam air sungai dapat dilakukan menggunakan metode spektrofotometer serapan atom. Prinsip analisisnya yaitu berdasarkan absorpsi cahaya oleh atom yang terdapat dalam sampel. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Seperti logam Cu menyerap cahaya pada panjang gelombang 324,7 nm. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah ke tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik pada suatu atom bersifat sfesifik. Selain itu analisis logam Cu dengan spektrofotometer serapan atom ditentukan pada suhu yang rendah karena logam Cu termasuk logam berat yang mudah menguap. Logam Cu biasanya dianalisis pada panjang gelombang 324,7 nm dengan sensitivitas 0,04 μm, tipe nyala menggunakan udara-asetilen serta batas deteksi 0,002 μg/mL (Khopkar, 2007). Proses atomisasi logam Cu dengan SSA yaitu dilakukan secara langsung, sampel di hembuskan (diaspirasikan) secara langsung ke dalam nyala dan semua sampel akan dihisap oleh pembakar melalui tabung kapiler (Rohman dan Ginanjar, 2007).
         Spektrofotometer serapan atom (SSA) yang merupakan metode analisis suatu unsur secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog dkk, 2000). Metode SSA berprinsip pada absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang itu mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorbsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, terdapat lebih banyak energi yang akan dinaikkan dari keadaan dasar ke keadaaan eksitasi dengan tingkat eksitasi yang bermacam-macam (Khopkar, 2007).
         Prinsip analisis memakai instrumen SSA adalah larutan sampel diaspirasikan ke suatu nyala dan unsur-unsur di dalam sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala mengandung atom unsur-unsur yang dianalis. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam keadaan dasar (ground state). Atom-atom ground state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang terbuat dari unsur-unsur yang bersangkutan. Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi adalah sama dengan panjang gelombang yang diabsorpsi oleh atom dalam nyala. Absorpsi ini mengikuti hukum Lambert-Beer, yakni absorbansi berbanding lurus dengan panjang nyala yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam nyala. Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel. Hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi diturunkan dari:
1.      Hukum Lambert: Bila suatu sumber sinar monokromatik melewati medium transparan, maka intensitas sinar yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya ketebalan medium yang mengabsorpsi.
2.      Hukum Beer: Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut.
Dari kedua hukum tersebut diproleh suatu persamaan:
            A = a.b.c atau A = Ɛ.b.c
Dimana:
A      : Absorbansi larutan
b    : Tebal kuvet
c    : Konsentrasi larutan
Ɛ    : Tetapan absorptivitas molar (jika konsentrasi larutan diukur dalam molar)
a    : Tetapan absorptivitas (jika konsentrasi larutan diukur dalam ppm)
Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa absorbansi cahaya berbanding lurus dengan konsentrasi atom (Day dan Underwood, 2002).


         Cara kerja spektrofotometer serapan atom ini berdasarkan atas penguapan sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (Hollow Cathode Lamp) yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya (Darmono, 1995).



Skema alat SSA dilihat dari Gambar 2.2 meliputi:
1.    Sumber radiasi, digunakan lampu katoda berongga (Hollow Cathode Lamp).
Hollow Cathode Lamp terdiri dari katoda cekung yang silindris yang terbuat dari unsur yang sama dengan yang akan dianalisis dan anoda yang terbuat dari tungsten. Dengan pemberian tegangan pada arus tertentu, logam mulai memijar dan atom-atom logam katodanya akan teruapkan dengan pemercikan. Atom akan tereksitasi kemudian mengemisikan radiasi pada panjang gelombang.
2.    Atomizer, terdiri atas nebulizer (mengubah atom menjadi aerosol), spray chamber (membuat campuran homogen antara gas oksidan, bahan bakar dan aerosol) dan burner (sistem tempat terjadinya atomisasi).
3.    Monokromator, untuk memisahkan radiasi resonansi yang telah mengalami absorbsi ke radiasi        lainnya.
4.    Detektor, berfungsi untuk mengukur radiasi yang ditransmisikan oleh sampel.
5.  Komputer, sinyal listrik yang keluar dari detektor diterima oleh piranti yang dapat menggambarkan secara otomatis kurva absorbsi (Khopkar, 2007).
         Gangguan yang sering dijumpai pada analisis dengan SSA ada tiga macam, yaitu:
1.      Gangguan spektrum
Gangguan ini timbul akibat terjadinya tumpah tindih antara frekuensi-frekuensi garis resonansi unsur yang dianalisis dengan garis-garis yang dipancarkan oleh unsur lain. Hal ini disebabkan karena rendahnya resolusi monokromator. Selain itu, peristiwa absorbsi dan penghamburan juga akan menghasilkan kesalahan dalam pembacaan absorbansi (Day dan Underwood, 2002).
2.      Gangguan kimia
         Gangguan ini disebabkan oleh pembentukan senyawa refraktori. Pembentukan senyawa refraktori menyebabkan tidak sempurnanya disosiasi zat yang dianalisis bila disemprotkan ke dalam nyala. Biasanya gangguan ini dapat diatasi dengan cara menggunakan nyala dengan suhu yang lebih tinggi atau menambahkan unsur penyangga, mengekstraksi unsur yang dianalisis (Day dan Underwood, 2002).
         Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi gangguan kimia pada spektrofotometer serapan atom antara lain:
1.      Menaikkan temperatur nyala agar mempermudah penguraian. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan gas pembakar campuran C2H2 + N2O yang memberikan nyala dengan temperatur yang tinggi.
2.      Menambahkan elemen pengikat gugus atau atom penyangga sehingga terikat kuat.
3.      Pengeluaran unsur pengganggu dari matriks sampel dengan cara ekstraksi (Mulja dan Suharman, 1995).
3.      Gangguan oleh penyerapan non-atomik
         Gangguan ini terjadi akibat penyerapan cahaya dari sumber sinar yang bukan berasal dari atom-atom yang akan dianalisis. Penyerapan non-atomik dapat disebabkan adanya penyerapan cahaya oleh partikel-partikel pengganggu yang berada di dalam nyala. Cara mengatasi penyerpan non atomik ini adalah bekerja pada panjang gelombang yang lebih besar (Rohman dan Ginanjar, 2007).
         Sastrohamidjojo (1991) analisis kuantitatif untuk penentuan kadar unsur dalam larutan dapat digunakan beberapa metode yaitu sebagai berikut:
1. Metode standar tunggal
         Satu buah larutan standar dan larutan sampel diukur absorbansinya kemudian konsentrasi larutan sampel dapat dihitung berdasarkan rumus:
                                                

Dimana:
As       :      Absorbansi standar
Ax       :      Absorbansi sampel
Cs        :      Konsentrasi larutan standar
Cx       :      Konsentrasi larutan sampel
2. Metode kurva standar/kalibrasi
         Dalam metode ini dibuat suatu seri larutan standar dengan berbagai konsentrasi dan absorbansi dari larutan tersebut diukur dengan SSA. Langkah selanjutnya adalah membuat grafik antara konsentrasi (C) dengan absorbansi (A) yang merupakan garis lurus melewati titik nol. Konsentrasi larutan sampel dapat dicari setelah absorbansi larutan sampel diukur dan diinterpolasikan ke dalam kurva kalibrasi atau dimasukkan ke dalam persamaan garis lurus yang diproleh dengan menggunakan program regresi linear pada kurva kalibrasi.
3. Metode adisi standar
Metode adisi standar yaitu suatu metode dengan menambahkan larutan standar ke dalam sampel. Metode ini menggunakan dua atau lebih sampel . Satu larutan diencerkan sampai volume tertentu kemudian diukur absorbansinya tanpa ditambah dengan zat standar, sedangkan larutan yang lain sebelum diukur absorbansinya di tambah dengan zat standar dan diencerkan seperti pada larutan yang pertama. Volume sampel tetap sedangkan volume larutan standarnya berbeda. Volume akhir yang diukur dengan menggunakan alat instrumen adalah sama. Jadi yang memiliki variasi adalah konsentrasi larutan standarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Rochyatun, E., Taufik, M. K. dan Abdul, R. (2006). Distribusi Logam Berat dalam Air dan Sedimen di Perairan Muara Sungai Cisadane. Jurnal Makara Sains, Vol 35-40. 10, No 1, Hal 35-40.
Palar, H. (2004). Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.
Lu, C. F. (1995). Toksikolgi Dasar. Jakarta: UI Press.
Khopkar, S.M. (2007). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Darmono. (1995). Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UI-Press.
Rohman, A. dan Ginanjar, I. G. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Day, R. A., dan Underwood, A. L. (2002). Analisis Kimia Kuantitaif. Edisi kelima Jakarta: Erlangga.
Skoog, D. A., Holler, F. J. dan Nieman, T. A. (2000). Fundamentals Of Analytical Chemistry. USA: Brooks Cole.
Sastrohamidjojo, H. (1991). Dasar-Dasar Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty.

Mulja, M. dan Suharman. (1995). Analisis Instrumental. Surabaya: Airlangga University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar